FOMO Tinggal di Belakang, Kini FOPO Mengancam Kesehatan Mental Anda

Diwida |, BANDUNG - Terdahulu banyak diperbincangkan tentang FOMO, yaitu akronim untuk "Fear Of Missing Out" atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut sebagai "Ketakutan Kehilangan Sesuatu". Perasaan ini merujuk pada kecemasan atau ketakutan seseorang bahwa mereka mungkin tidak dapat mengikutsertakan diri dalam hal-hal seru dan menarik yang berlangsung di lingkungan sekitarnya, contohnya saja acara sosial, trend baru-baru ini, ataupun peluang-peluang tertentu.

Saat ini pun terdapat istilah FOPO yang diyakini bisa berimbas pada aspek psikologis individu menurut para pakar.

Mari kita bahas lebih jauh tentang FOPO seperti yang diambil dari laman resmi UGM berdasarkan informasi dari Tribun Jabar.

Apakah Anda kerap khawatir tentang penilaian orang lain?

Kamu mungkin sedang merasakan FOPO yaitu Ketakutan terhadap Pendapat Orang Lain.

Rasanya takut akan opini orang lain pastinya dapat sangat menggangu hidup bila timbul dengan berkelanjutan.

Psikolog dari Universitas Gadjah Mada, T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., yang juga seorang psikolog, menyatakan bahwa saat ini FOPO sudah menjadi suatu fenomena dalam kalangan masyarakat di negeri kita.

Malahan, dalam beberapa periode belakangan ini, fenomena tersebut mengindikasikan peningkatan tren yang semakin pesat.

"Ditambah lagi dengan penggunaan media sosial sebagai penyebab utama munculnya FOPO pada banyak orang. Media sosial membuat pandangan orang lebih terbuka, serta citranya pun ikut terekspos. Meski demikian, masih ada juga individu yang sudah cemas tentang penilaian orang lain bahkan jauh sebelum adanya media sosial," ungkapnya ketika diwawancara Senin (15/5).

Novi menyebutkan bahwa di Indonesia, FOPO terbentuk melalui pengaruh budaya dan sistem pendidikan.

Feodalisme dan kepatuhan yang melekat dalam masyarakat memberikan sumbangsih besar terhadap pembentukan FOPO pada orang-orang Indonesia.

"Sebagai contoh, budaya feodal seperti itu di mana para senior menentukan opini publik. Selanjutnya, tentang konsistensi, sejak kecil anak-anak diajarkan untuk memiliki pikiran yang senantiasa serupa; apabila ada perbedaan sedikitpun, mereka akan disebut aneh karena telah dibesarkan dalam lingkungan kemiripan," jelasnya.

Dosen dari Fakultas Psikologi UGM mengatakan bahwa sistem pendidikan saat ini membuat setiap individu serupa, sehingga orang-orang di Indonesia cenderung lebih memprioritaskan pandangan dan pemikiran orang lain terhadap diri mereka daripada penilaian pribadi mereka tentang diri sendiri.

Ditambah dengan keberadaan media sosial dimana image atau perspektif seseorang dibentuk oleh platrform ini.

Misalnya, banyak diskusi dan obrolan terkait parameter kesuksesan bagi anak muda.

Pemuda dianggap berhasil bila pada dekade kedua hidupnya telah mengelola pendapatan atau bisnis pribadi. Sebab diskusi dalam media sosial itu membuat mereka saling mengevaluasi diri.

“Pada akhirnya dia merenungkan dirinya, di usianya yang telah menginjak 30 tahun tapi masih belum memiliki bisnis pribadi, sehingga perlahan-lahan ia menjadi kurang percaya diri karena kehidupannya tak sejalan dengan apa yang biasanya diharapkan banyak orang," katanya.

Hal ini, selanjutnya, disebabkan oleh orang tersebut belum menyadari identitas pribadi mereka.

Pada masa remaja, seseorang perlu memahami dirinya sendiri. Jika diberi kesempatan untuk mengeksplorasi identitasnya, ia akan mencapai tingkat pengenalan diri yang lebih besar.

Jika kesadaran diri telah dikuasai, maka identitas pribadi dapat terbentuk dengan baik demikian juga seseorang tidak lagi khawatir tentang opini orang lain dan tidak ragu untuk tampil beda.

"Orang-orang di Indonesia saat ini umumnya merasakan FOPO, yaitu khawatir akan dievaluasi negatif, melakukan kesalahan, atau gagal," ujarnya.

Novi menegaskan bahwa apabila rasa takut terhadap penilaian oranglain tetap berlangsung, hal itu dapat memicu gangguan cemas sosial.

Keadaan itu dapat menyebabkan efek merugikan pada kesejahteraan psikologis seseorang, misalnya rentan terhadap tekanan saat menemui kekalahan.

Hal ini juga membuat seseorang tidak menyadari tujuan hidupnya karena seluruh tindakannya bertujuan untuk memenuhi ekspektasi orang lain.

Selanjutnya, bagaimana cara menghindari keadaan seseorang hingga terjebak dalam FOFO? Novi menyatakan bahwa langkah-langkah yang dapat ditempuh bermula dengan pembinaan di lingkungan rumah serta institusi pendidikan.

Sistem pendidikan diciptakan untuk memungkinkan anak-anak berkembang sambil merasa yakin akan kemampuan mereka.

Jika anak-anak mempunyai kepercayaan diri yang kuat, mereka akan berkembang menjadi individu yang terhormat dan otonom.

Sebaliknya, bila sang anak kurang memiliki kepercayaan diri, sebagian dari hidup mereka akan diisi dengan berbagai emosi negatif seperti perasaan malu, cemas, khawatir, serta merasa tanpa harapan.

"Jika memiliki energi kepercayaan diri yang kuat, seseorang tidak akan gampang merasakan ketakutan atau FOMO. Oleh karena itu, perlu menciptakan lingkungan yang mengembangkan rasa percaya diri dengan menyediakan tempat untuk menjunjung tinggi keunikannya tiap individu," jelasnya.

Bagaimana solusinya jika seseorang telah merasa FOPO? Jika tingkat cemasnya belum terlalu parah, Novi merekomendasikan untuk menghadapinya lewat cara kognitif yaitu dengan dibawa berbicara.

Sebagai contoh, melakukan pembicaraan tentang alasan di balik ketidakberanian dalam pengambilan keputusan, dampak yang mungkin timbul, serta keuntungan atau kerugian dari tindakan tersebut dan hal-hal tambahan lainnya.

Dialog dapat memperbaiki cara berfikir serta mendorong orang tersebut untuk bertindak dengan lebih baik.

Selanjutnya, lakukan lebih banyak aktivitas. Semakin banyak kegiatan bermanfaat yang Anda ikuti, semakin sedikit rasa cemas yang dirasakan.

"Bila telah mencapai tingkat yang serius hingga traumatis, sebaiknya segera menghubungi ahli seperti psikolog atau konselor," tegasnya.

Diwida.News FORUM DISKUSI TERBATAS!!!.